Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Rahmiati

Anugerah Demi Anugerah Dalam Spiritualitas Kristen yang Sejati

Kehidupan spiritualitas seseorang bukan hanya merupakan topik perbincangan di kalangan orang beragama atau para teolog saja. Pada waktu buku Daniel Goleman -seorang doktor psikologi dari Harvard- yang berjudul Emotional Intelligence terbit pada 1995, para pakar pendidikan dan bidang lain, maupun orang awam mulai ramai membahas dan menulis tentang kepentingan dan peran kecerdasan emosi yang dikaitkan dengan keefektifan kecerdasan intelektual.1 Beberapa tahun kemudian, yaitu tahun 2000, buku berjudul SQ: Spiritual, Intelligence-The Ultimate Intelligence karya Danah Zohar, seorang psikolog, dan fisikawan Ian Marshall, menambah, atau dapat dikatakan, menggeser topik pembahasan dan penulisan mengenai EI. Kecerdasan spiritual dianggap sebagai faktor penentu bagi keefektifan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi.

Orang-orang pun mulai memberikan definisi mengenai kecerdasan spiritual. Zohar, salah seorang pencetus SQ, membuka pembahasan tentang SQ di bukunya dengan memberikan definisi tentang SQ yang dikaitkan dengan IQ dan EQ:

SQ yang saya maksudkan adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk mengfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita.2

Apabila EQ memampukan seseorang mengambil keputusan untuk bersikap tepat dalam situasi yang dihadapinya, maka SQ memampukan seseorang untuk memutuskan apakah ia mau berada di dalam situasi seperti itu. Jadi, EQ bekerja dalam batasan situasi sedangkan SQ memampukan seseorang untuk dapat mengubah atau memperbaiki situasi yang dihadapinya. Zohar juga berpendapat bahwa SQ tidak harus melibatkan agama.3

Margot Cairnes, seorang pakar pendidikan dan pakar dalam menyusun strategi, memberikan definisi yang mengkonfirmasi apa yang telah dinyatakan oleh Zohar dengan mengatakan bahwa SQ adalah kemampuan seseorang untuk bertanya, berpikir dengan kreatif, mengubah aturan-aturan, bekerja dengan efektif dalam situasi yang berubah melampaui batasan-batasan yang ada, menembus halangan-halangan yang ada dan membuat inovasi.4

Apabila diperhatikan dengan seksama, maka definisi-definisi berikut ini pun bernada serupa. Ram Mohan, seorang guru Vendata, menyatakan:

Spiritual intelligence is about the growth of a human being. It is about moving on in life. About having a direction in life and being able to heal ourserves of all the resentment we carry. It is thinking of ourselves as an expression of a higher reality. It is also about how we look at the resources available to us. We realize that nature is not meant to be exploited. Ultimately, we discover freedom from our sense of limitation as human beings and attain moksha.5

Anand Tendolkar, seorang pemimpin lokakarya kepemimpinan, mengatakan:

For me spiritual intelligence is about pondering over my life's purpose. Just being in touch with that question is fulfilling. Finally I realize that there is an immensity to me. As I move along the path, deeper levels of myself get unfolded, leading to fulfillment.6

Sebagaimana Zohar, para pakar yang lain pun percaya bahwa seseorang tidak harus beragama untuk dapat memiliki kecerdasan spiritual.

Berbeda dengan yang telah dinyatakan di atas, maka berikut ini adalah pendapat-pendapat yang menyatakan secara eksplisit bahwa SQ tidak dapat terlepas dari kepercayaan seseorang kepada Tuhan, yang disebut agama formal oleh para pakar di atas. Gordon Moyes, seorang penganut Wesleyan, menganjurkan seseorang untuk memiliki hubungan spiritual yang benar dengan Allah jika ingin memiliki SO, IQ dan EQ yang produktif sebagaimana seharusnya.7 Meskipun para teolog berikut tidak memakai istilah kecerdasan spiritual (SQ), namun dari pendefinisian mereka tentang spiritualitas, bisa dikatakan yang mereka bahas adalah hal yang sama. J. I. Packer dalam pengantar buku Worldly Saints karya Leland Ryken, berkomentar tentang kedewasaan spiritualitas dalam konteks orang puritan, sebagai berikut:

Maturity is a compound of wisdom, goodwill, resilience, and creativity. Puritan ... they were great souls serving a great God. In them, clear-headed passion and warm-hearted compassion combined. Visionary and practical, idealistic and realistic too, goal oriented and methodical, they were great believers, great hopers, great doers, and great sufferers.8

Memang ada sebagian teolog yang menjelaskan spiritualitas seseorang terpisah dari realita kehidupan. Bahkan bukan dalam penjelasan saja, dalam praktek kehidupan sehari-hari pun keduanya dipisahkan. Sehingga, semakin tinggi spiritualitas seseorang, maka seharusnya semakin jauh is dari kehidupan sekuler. Menanggapi pernyataan itu, Packer menulis bahwa orang Puritan tidaklah demikian:

There were for them no disjunction between sacred and secular; all creation, so far as they were concerned, was sacred, and all activities, of whatever kind, must be sanctified, that is, done to the glory of God. So, in their heavenly minded ardor the Puritans became men and women of order, matter-of-fact and down-to-earth, prayerful, purposeful, practical. Seeing life whole, integrated contemplation with action, worship with work, labor with rest, love of God with love of neighbor and of self, personal with social identity, and the wide spectrum of relational responsibilities with each other, in a thoroughly conscientious and thought-out way.9

Francis A. Schaeffer dengan tegas menyatakan, "The first point which we must make is that it is impossible even to begin living the Christian life, or to know anything of true spirituality, before one is a Christian." 10 Lawrence O. Richards menjabarkan beberapa definisi tentang spiritualitas yang pada intinya menyatakan bahwa spiritualitas seseorang tidak terpisahkan dari relasi orang tersebut dengan Allah. Sedangkan relasi dengan Allah merupakan dasar relasi orang itu dengan sesama manusia dan yang lainnya di dunia ini. Irish V. Cully, seorang edukator Protestan, percaya bahwa hidup di hadapan Allah menolong seseorang untuk memiliki suatu kehidupan yang selaras dengan tujuan Allah bagi dirinya dan dunia ini.11 Pada dasarnya kehidupan spiritualitas seseorang tidak boleh dilepaskan dari realitas kehidupan orang tersebut.

Berdasarkan definisi-definisi di atas maka dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama, adanya mereka yang berpendapat bahwa kecerdasan spiritual tidak bisa dilepaskan dari agama formal yang dianut oleh seseorang, di mana Tuhan terlibat di dalamnya. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa kecerdasan spiritual seseorang tidak selalu berkaitan dengan agama formal. Jadi, tidak ada keterlibatan Tuhan sama sekali. Dengan kata lain, seorang ateis atau humanis bisa saja memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi sedangkan seseorang yang menganut agama formal tidak memilikinya.

Setelah pembahasan definisi, orang-orang pun mulai membahas bagaimana cara seseorang mencapai kecerdasan spiritual yang tinggi. Apakah itu dapat dipelajari? Tentu saja semua itu bergantung pada pendefinisian yang dianut olch seseorang. Apabila definisi kecerdasan spiritual bertitik tolak dari manusia dan diakhiri oleh manusia, maka kecerdasan spiritual dapat dicapai atas usaha yang dimulai dan diakhiri oleh manusia. Dengan kata lain, sejauh mana ia berusaha, sejauh itu jugalah kecerdasan spiritualnya. Apabila definisi kecerdasan spiritual bertitik tolak dari kerja sama Tuhan dengan orang itu dan dalam proses pertumbuhannya juga melibatkan kerja sama Tuhan dengannya, maka ketinggian kecerdasan spiritual seseorang bergantung kerja samanya dengan Tuhan. Jika definisi kecerdasan spiritual itu hanya bertitik tolak dari Tuhan dan melibatkan kerja sama Tuhan dan manusia dalam proses pencapaian ketinggiannya, maka kecerdasan spiritual hanya bisa diawali oleh campur tangan Tuhan dan proses pertumbuhannya melibatkan Tuhan dan orang itu sendiri.

Bagaimana seseorang bisa tahu bahwa ia sudah memiliki kecerdasan spiritual yang seharusnya jika ia tidak memiliki acuan yang mutlak? Baik ateis, humanis ataupun yang lainnya, pada akhirnya akan mengacu pada apa yang dianggap tolok ukur oleh diri mereka masing-masing. Berbicara tentang definisi dan cara mencapai kecerdasan spiritual, sebagai orang Kristen tentu saja acuan kita adalah firman Tuhan. Karena itu, sesuai dengan konteks dan maksud penulisan artikel ini, selanjutnya pembahasan mengenai kecerdasan spiritual12 akan dibatasi dalam konteks kekristenan saja.

Ada beberapa tolok ukur yang dipakai oleh orang Kristen pada zaman ini untuk mengukur spiritualitas seseorang: Pertama, keterlibatan seseorang dalam aktivitas-aktivitas kerohanian. Contohnya, semakin sering ia mengikuti persekutuan doa atau ke gereja maka ia dinilai lebih rohani dari yang tidak melakukannya. Kedua, keterlibatan seseorang dalam berbagai pelayanan sosial, misalnya, orang yang banyak terlibat dalam menolong dan berjuang untuk orang lain yang terkena bencana atau dilecehkan oleh sesamanya, maka orang tersebut dinilai memiliki kepekaan rohani yang lebih tinggi dari yang lain. Ketiga, penampakan fenomena supranatural melalui kehidupannya, misalnya, orang yang dapat mendemonstrasikan berbagai macam mujizat atau orang yang mengalami berbagai macam kejadian yang bersifat supranatural, maka ia dinilai lebih dekat hubungannya dengan Tuhan dibandingkan dengan yang tidak memiliki pengalaman yang demikian. Keempat, penampakan pola hidup yang menjauhkan diri dari kegiatan "duniawi." Karena itu, orang yang tidak pernah nonton ke bioskop, tidak pernah ke kafe atau ke pesta dansa dinilai lebih kudus dari orang yang suka pergi ke tempat-tempat seperti itu. Kelima, pemakaian atribut kristiani. Misalnya, orang yang selalu bawa Alkitab, pakai aksesori Kristen (kalung salib, anting salib, T -Shirt berslogan atau bergambar kristiani) atau selalu mendengarkan lagu-lagu Kristen dianggap lebih cinta Tuhan dari yang tidak memakainya. Apakah itu semua benar-benar dapat dipakai sebagai suatu ukuran untuk pencerminan spiritualitas Kristen yang sejati?

Pembahasan berikut akan diawali dengan definisi spiritualitas Kristen yang dilanjutkan dengan titik tolak spiritualitas Kristen, dan kriteria serta proses pertumbuhannya. Keseluruhan pembahasan akan mengacu pada kebenaran firman Tuhan yang dibandingkan pula dengan pemikiran-pemikiran dari teolog-teolog yang sudah membahas mengenai hal ini.

DEFINISI SPIRITUALITAS KRISTEN

Spiritualitas Kristen adalah keberadaan seseorang yang berada di dalam relasi yang benar dengan Allah, sesama, dan ciptaan yang lain. Yang dimaksudkan dengan benar di sini bukan berbicara tentang what is (apa yang terjadi), melainkan what ought to (apa yang seharusnya terjadi). Pada waktu kita berbicara tentang apa yang seharusnya terjadi, maka tentu saja sebagai orang Kristen kita mengacunya pada apa yang dinyatakan oleh firman Tuhan. Sejak Allah menciptakan segalanya, Ia telah menetapkan:

Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi" (Kej. 1:26-28).

Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Mat. 22:37-39).

Ayat-ayat di atas menyatakan bahwa sejak awal manusia diciptakan untuk menjadi gambar Allah, yaitu seseorang yang mencerminkan kemuliaan Allah dalam seluruh hidupnya. Setiap manusia harus memperlakukan dirinya dan sesamanya sebagai gambar Allah. Sedangkan relasi dengan ciptaan lain adalah relasi antara penguasa dan yang dikuasai, pengelola dan yang dikelola, serta pemelihara dan yang dipelihara. Semua itu dijalankan berdasarkan pada wibawa dan aturan ilahi yang diberikan kepada manusia. Manusia tidak bisa melakukannya sesuai dengan pola pikir dan kehendaknya sendiri (lihat bagan 1), ataupun sesuai dengan pola pikir dunia ini yang terus menghantui kita. Sehubungan dengan hal ini Richard Pratt, Jr. berkomentar:

The biblical view of human dignity addresses our modern world in the same two ways. First, it helps us look at ourselves as we ought. We must learn to deal with a world that constantly assails our own sense of honor.... Second, Moses' perspective also teaches us how to treat others. Christian are as guilty as the world in showing favoritism.13

Jadi, spiritualitas menurut firman Tuhan adalah keberadaan seseorang yang tahu bagaimana ia harus berelasi dengan Tuhan, sesama, dirinya sendiri dan ciptaan lain dan hidup berdasarkan apa yang ia tahu tersebut. Pengetahuan itu sendiri tidak bersumber dari pola pikir manusia melainkan harus bersumber dari pola pikir Allah yang telah dinyatakan melalui firmanNya. Ia sebagai Pencipta segala sesuatu di dunia ini, la jugalah yang mengetahui bagaimana semua ciptaan-Nya harus menjalani kehidupan mereka masing-masing.

TITIK TOLAK SPIRITUALITAS KRISTEN

Spiritualitas Kristen tidak berawal dari hadirnya seseorang di tempat ibadah atau terlibatnya seseorang dalam aktivitas keagamaan (lihat bagan 2). Kitab Yesaya menyatakan bahwa keterlibatan seseorang dengan berbagai upacara dan aktivitas keagamaan tidak menjamin bahwa orang tersebut sudah memiliki relasi yang benar dengan Allah:

Dan Tuhan telah berfirman: "Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan,... (Yes. 29:13).

Tuhan Yesus dengan tegas menyatakan:

Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan! (Mat. 7:21-23).

Spiritualitas Kristen diawali pada saat seseorang menjadi pohon yang baik, yaitu pada saat ia menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamat pribadinya.

Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya; orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah (Yoh. 1:12-13).

Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik (Mat. 7:17-18

Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, telah divonis dengan murka Allah (Rm. 1:18). Maka, ia berada dalam status "pohon yang tidak baik" yang tidak memungkinkannya untuk menghasilkan "buah yang baik". Untuk kembali kepada keadaan sesuai dengan tujuan semula Allah menciptakan manusia, ia harus dilahirkan baru terlebih dahulu (lihat Yoh. 3:1-21). Tentu saja spiritualitas Kristen tidak berhenti sampai di sini, sebagaimana yang dikatakan oleh Schaeffer:

  1. The true Christian life, true spirituality, does not mean just that we have been born again. It must begin there, but it means much more than that ...
  2. It is not just a desire to get rid of taboos in order to live an easier and a looser life. Our desire must be for a deeper life ...
  3. True spirituality ... is not just outward, but it is inward ...
  4. But it is even more than this.... It is not that we are dead to certain things, but we are to love God, we are to be alive to him, we are to be in communion with him, in this present moment of history. And we are to love men, to be alive to men as men, and to be in communication on a true personal level with men, in this present moment of history.14

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa spiritualitas Kristen yang alkitabiah merupakan inisiatif dari Allah dan manusia merespons sebagaimana seharusnya sesuai dengan iman yang telah dianugerahkan kepadanya. Namun, itu semua hanyaiah titik tolak yang harus dilanjutkan dengan proses pengudusan (Ef. 4:23, Kol. 3:10). Anugerah Allah memungkinkan terjadinya transformasi pada diri seseorang untuk menjadi serupa dengan Kristus. Hal itu dimungkinkan dengan adanya peran Roh Kudus dalam diri orang percaya (Tit. 3:5) sehingga manusia kembali dimungkinkan untuk menjadi gambar Allah yang mempermuliakan Allah sesuai dengan tujuan Allah sejak penciptaan (Ef. 2:1-10). Di bawah ini kita akan melihat bagaimana firman Tuhan secara rinci menjelaskan tentang semua itu.

KRITERIA SERTA PROSES PERTUMBUHAN SPIRITUALITAS KRISTEN

Rupanya seseorang yang telah menjadi anak Tuhan tidak secara otomatis akan langsung hidup sebagai anak Tuhan, seperti yang dikatakan oleh Tuhan Yesus kepada murid-Nya, Petrus, "Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia" (Mat. 16:23). Pola pikir manusia menghasilkan perilaku yang bersumber dari pola pikir tersebut. Dengan kata lain, selama pohon itu bukan pohon yang baik, maka ia tidak akan menghasilkan buah yang baik. Seseorang harus memiliki pola pikir ilahi dan hidup berdasarkan pola pikir tersebut. Pada waktu Kitab Suci memakai kata "mengenal Allah," yang dimaksudkan bukan hanya sekadar mengetahui secara kognitif, melainkan juga hidup berdasarkan apa yang ia tahu. Sehubungan dengan hal ini, Dietrich Bonhoeffer menulis, "For acquired knowledge cannot be divorced from the existence in which it is acquired. The only man who has the right to say that he is justified by grace alone is the man who has left all to follow Christ".15

Bagaimana kita mengetahui seseorang telah mencapai suatu kedewasaan rohani yang sebagaimana seharusnya. Sesuai dengan pembahasan di atas, maka rupanya kuantitas keterlibatan seseorang dalam aktivitas keagamaan tidak dapat dijadikan tolok ukur. Formasi spiritualitas diawali dengan relasi yang benar dengan Allah, yaitu pada saat seseorang menerima Yesus Kristus sebagai Juru Selamatnya. Perubahan status dari orang berdosa menjadi orang kudus tidak secara otomatis menjadikan seseorang dewasa dalam kerohaniannya. Sebagai orang yang telah menerima anugerah keselamatan ia diharapkan untuk menghasilkan perbuatan yang sesuai dengan iman yang telah menyelamatkannya.

Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna (Rm. 12:1-2).

Lihat juga Galatia 5:13-26, Efesus 4 & 5 dan Yakobus 2:14-26. Bagaimana kita tahu apakah kita sudah tidak serupa dengan dunia ini, atau telah ada pembaharuan dalam budi kita? Apabila kita tidak memiliki acuan yang mutlak maka semua akan menjadi relatif. Acuan kita bukan pola pikir dunia ini atau pola pikir siapa pun juga melainkan firman Tuhan. Seseorang tidak mungkin akan memiliki pola pikir firman Tuhan apabila ia tidak pernah berusaha untuk belajar dan memahaminya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Mazmur 1:

Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil. Bukan demikian orang fasik: mereka seperti sekam yang ditiupkan angin. Sebab itu orang fasik tidak akan tahan dalam penghakiman, begitu pula orang berdosa dalam perkumpulan orang benar; sebab TUHAN mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik menuju kebinasaan.

Orang kudus tidak dapat berbuah Roh Kudus di luar firman Tuhan. Karya Roh Kudus tidak pernah berlawanan dengan firman Tuhan. Karena itu, seperti yang dinyatakan Tuhan Yesus, setiap orang percaya harus dikuasai oleh firman Than dan menjadi pelaku firman sehingga ia dapat berbuah banyak: "Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya. Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku" (Yoh. 15:17-18).

Berbuah banyak tercakup di dalamnya adalah melakukan semua perintah Tuhan. Perintah Tuhan itu adalah tetap berada di dalam persekutuan yang benar dengan Allah, dengan memelihara kekudusan hidup, mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri, serta nienjalankan amanat agung dan mandat budaya. Menjalani semua itu bukannya tidak ada tantangan sebagaimana yang dinyatakan oleh Bonhoeffer tentang hidup dalam relasi anugerah, "Such grace is costly because it calls us to follow, and it is grace because it calls us to follow Jesus Christ. It is costly because it costs a man his life, and it is grace because it gives a man the only true life". 16

Tentu saja hal itu sudah sejak awal dinyatakan oleh Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya:

Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, is akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya? (Mat. 16:24-26).

Pernyataan itu kemudian diikuti oleh Paulus yang mengatakan:

Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia (1 Kor. 15:58).

KESIMPULAN

Kecerdasan spiritualitas tidak pernah terlepas dari relasi seseorang dengan Allah. Apabila ia menghendaki hidupnya diperkenan oleh Allah, maka tolok ukur Allah harus menjadi acuan di dalam hidupnya. Kitab Suci memang sudah menyatakan bahwa manusia harus bertumbuh dalam segala hal ke arah Kristus (Ef. 4:15) sehingga ia dapat mempersembahkan suatu kehidupan yang kudus dan yang berkenan kepada Allah. Kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi sejak awalnya memang tidak pernah boleh terpisah dari kecerdasan spiritual. Spiritual yang sejati akan menghasilkan manusia yang tahu bagaimana menggunakan akal dan emosinya di dunia ini sesuai dengan kehendak Tuhan. Tuhan Yesus digambarkan memiliki pertumbuhan yang semestinya selama Ia berada di dunia: "Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pads-Nya.... Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmatNya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia" (Luk. 2:40, 52). "Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Rm. 11:36).

Footnote :

1 V K. Bhat & P. Talwar, yang bekerja di departemen psikiatri menyatakan bahwa EQ merupakan penentu yang lebih balk bagi kesuksesan seseorang dalam kehidupan dan pekerjaannya dibandingkan IQ [www.meditune.com/articles/psychiatry/eg.html]. Seto Mulyadi, seorang pakar dalam bidang anak-anak, menyatakan bahwa IQ yang tinggi bukan jaminan bagi kesuksesan seorang anak di masa depan. Oleh karena itu, EQ perlu mendapat perhatian dari orang tua yang ingin anaknya herhasil dalarn hidup ini [www.kompas.com/utama/news/0205/26/114758.htm].

2 Danah Zohar & Ian Marshall, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan (Bandung: Mizan, 2002) 3-4.

3 Ibid. 5.

4 IQ, EQ & SQ ... [www.leader-values.com/guest/cairnes%205.htm] 2.

5 Cherian P. Tekkeveettil, [www.lifepositive.com/mind/evolution/iq-genius/intelligence.asp] 1.

6 Ibid. 1.

7 Gordon Moyes, [www.wesleymission.org.au/ministry/tra/2001/010715.html 3.

8 (Grand Rapids: Zondervan, 1986) x.

9 Ibid. xii.

10 True Spirituality (Illinois: Tyndale, 1981) 3.

11 A Practical Theology of Sprituality (Grand Rapids: Zondervan, 1987) 13.

12 Istilah kecerdasan spiritual ini bisa juga dimengerti sebagai kedewasaan rohani atau kedewasaan spiritual.

13 Designed for Dignity (New Jersey: P & R, 1993) 11-12.

14 True Spirituality 16-17.

15 The Cost of Discipleship (New York: Macmillan, 1963) 55.

16 Ibid. 47.

Diambil dari:

Judul Jurnal : Veritas (Vol.3, No.2, Oktober 2002)
Judul Artikel : Anugerah Demi Anugerah Dalam Spiritualitas Kristen yang Sejati
Penulis : Rahmiati Tanudjaja
Penerbit : SAAT, Malang
Halaman : 171 -- 182

Post new comment