Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Rahmiati

Doktrin dan Penggunaan Kitab Suci Menurut C. S. Lewis

PENGANTAR

C. S. Lewis dalam salah satu bukunya menulis demikian:

Bagi saya kitab Ayub nampak bukan kisah historis karena kitab ini dimulai dengan kisah tentang seorang laki-laki yang sama sekali tidak memiliki hubungan dengan semua sejarah, bahkan sernua legenda, tanpa ada silsilahnya. Laki-laki itu tinggal di sebuah negara di mana negara itu tidak pernah disebutkan di bagian lain di Alkitab; kelihatannya, penulis dengan sangat jelas menulis sebagai seorang pendongeng bukan sebagai seorang sejarawan. Karena itu saya tidak mengalami kesulitan dalam menerima, misalnya, pandangan para sarjana yang mengatakan kepada kita bahwa kisah tentang penciptaan di kitab Kejadian herasal dari cerita-cerita bangsa Semit zaman dahulu yang bersifat politeisme dan mistis.(1)

Ada beberapa pertanyaan yang mungkin muncul dalam pikiran kita sesudah membaca pernyataan-pernyataan di atas, misalnya: Apakah Lewis percaya kepada inspirasi Alkitab, ataukah tidak? Apakah ia berpikir bahwa Alkitab merupakan sebuah mitos dan bukan sebuah fakta historis? Bagaimana dengan kisah Yesus Kristus di dalam Perjanjian Baru, apakah ia juga berpikir bahwa kisah tersebut merupakan sebuah mitos? Lewis sendiri menyatakan bahwa ia dituduh sebagai seorang fundamentalis. Di lain pihak, pemahamannya terhadap Kitab Suci dituduh oleh kaum fundamentalis sebagai pemahaman yang liberal. Jadi, dalam isu kontroversial ini di sisi manakah is sebenarnya berada?(2)

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut kita harus mengerti terlebih dahulu apa sebenarnya arti semua istilah yang ia gunakan yang berkaitan dengan masalah ini; misalnya wahyu Allah, inspirasi, mitos, otoritas, ineransi dan infalibilitas Alkitab. Sesudah itu penulis akan membandingkannya dengan pengertian yang dianut kaum liberal dan fundamentalis. Artikel ini tidak hanya menjelaskan pandangan Lewis terhadap Kitab Suci dan bagaimana ia telah menggunakannya, tetapi juga bagaimana pandangannya dapat memberikan pencerahan kepada kita dalam melihat ilmu pengetahuan dan pandangan orang lain dalam perspektif yang berbeda dari yang mungkin telah kita miliki sebelumnya. Ini tidak berarti kita harus setuju dengan semua yang Lewis katakan, namun tidak ada salahnya kita memikirkan dan mempertimbangkannya sebagai bahan evaluasi untuk apa yang kita percaya selama ini. Siapa tahu pandangan tersebut dapat mempertajam apa yang kita percayai selama ini dan bergeser dari "asal percaya" menjadi "aku tahu apa yang kupercaya dan aku tahu mengapa aku percaya".

PENGERTIAN LEWIS TERHADAP WAHYU ALLAH, INSPIRASI, DONGENG, OTORITAS, INERANSI DAN INFALIBILITAS ALKITAB

Lewis tidak membahas istilah-istilah wahyu Allah, inspirasi, dongeng, otoritas, ineransi dan infalibilitas secara terpisah. Oleh karena itu, pembahasan tentang istilah-istilah di atas akan dijelaskan dalam keterkaitan antara satu dengan yang lain serta dikaitkan dengan istilah-istilah lain, misalnya kebenaran, literatur, realitas dan fakta, sebagaimana yang dilakukan oleh Lewis pada waktu pembahasan istilah-istilah tersebut.

Hubungan Antara Wahyu Allah dan Kebenaran

Sesudah membaca beberapa buku Lewis yang berhubungan dengan masalah ini, kesimpulan yang dapat diambil adalah ia percaya kepada Allah sebagai sumber dari semua kebenaran. Kebenaran Allah ini dapat ditemukan bukan hanya di dalam Kitab Suci atau kekristenan, melainkan juga di dalam bidang lain, misalnya ilmu pengetahuan dan literatur. Perlu kita simak bahwa ia adalah salah seorang sastrawan Inggris yang cukup terkenal dengan karya-karyanya yang sudah mendunia. Oleh karena itu, pemahaman dan penghargaannya terhadap literatur dapat dimengerti.(3)

Jika kita berbicara mengenai penemuan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan fakta dan bukan teori semata-mata, maka penemuan ini dapat disebut sebagai kebenaran, yaitu wahyu Allah melalui alam. Lewis menghargai pekerjaan para ilmuwan, misalnya para ahli ilmu fisika dan ilmu jiwa, sejauh mereka dapat menyadari keterbatasan dan posisi mereka. Oleh karena itu ia menegaskan bahwa kita tidak dapat mengatakan: "Sekarang ilmu pengetahuan telah membuktikan ... " karena ilmu, pengetahuan masih terus berkembang. Dengan kata lain, selama para ilmuwan belum mencapai kesimpulan akhir dari teori-teori mereka dalam hubungannya dengan fakta, atau teori mereka belum selaras dengan fakta, maka kita tidak dapat menjadikannya sebagai standar dari segala sesuatu.(4) Ia juga percaya bahwa ada beberapa kebenaran di dalam literatur lain selain Alkitab, karena itu ia mendorong pembacanya untuk membaca literatur-literatur lain di samping Alkitab dan mempelajari sesuatu dari literatur tersebut.(5)

Kalau memang demikian, lalu apakah perbedaan antara kebenaran yang Allah telah wahyukan melalui Kitab Suci dengan kebenaran yang diwahyukan di luar Kitab Suci? Perbedaan di antara keduanya terletak pada penggunaan dari kebenaran yang Allah wahyukan melalui Kitab Suci, di mana wahyu itu digunakan secara langsung untuk membawa orang-orang berdosa kepada keselamatan di dalam Kristus. Allah dapat menggunakan kebenaran di luar Kitab Suci untuk membawa orang mengenal atau mengakui keberadaan-Nya. Namun, melalui Kitab Suci, Ia membawa orang kepada Yesus Kristus secara langsung sehingga kalau orang tersebut mengenal Anak, ia akan mengenal Bapa dan menjadi anak Allah.(6)

Hubungan Antara Wahyu Allah dan Inspirasi

Lewis percaya bahwa Alkitab adalah kudus dan diilhami oleh Roh Kudus, yang berarti semua penulis Alkitab dan semua bahan yang mereka gunakan telah dipimpin oleh Allah supaya mewahyukan kebenaran yang Allah maksudkan untuk dikenal oleh umat manusia. Karena itu baginya, meskipun cerita-cerita di dalam Alkitab berasal dari cerita-cerita bangsa Semit zaman dahulu yang merupakan penyembahan berhala dan dongeng, dalam arti bahwa cerita-cerita tersehut berkembang dan menjadi seperti apa adanya sekarang, ide ini tidak mengganggunya karena ia percaya adanya pimpinan Allah dalam prosesnya.(7)

Ia juga percaya bahwa tingkat inspirasi di Alkitab tidak sama, baik dalam hal cara maupun dalam hal derajat:

The most obvious evidence for this is Paul's testimony in 1 Corinthians 7. There he said, "To the married I give this ruling, which is not mine but the Lord's...." His very next sentence began, "To the rest I say this, as my own word, not as the Lord's ... (NEB). Paul here seemed to claim a difference in degree of inspiration. Another interesting contrast can be found between Luke's introduction to his Gospel, in which he claims to have researched and planned his account, and the prophetic words of Caiaphas, the evil high priest, as recorded in John 11:49-52. We are clearly told that Caiaphas was inspired without knowing it and spoke divine truth he did not intend or comprehend. Luke and Caiaphas seemed to experience different modes of inspiration.(8)

Karena itu Alkitab harus didekati sebagai literatur yang diinspirasikan dengan semua elemen-elemen literaturnya, yaitu bayangan, simbol-simbol, dongeng dan metafor, yang merupakan perwujudan yang sebenarnya dari realitas spiritual, sebagai kendaraan dari wahyu Tuhan.(9)

Hubungan Antara Mitos, Realitas dan Kebenaran

Menurut Lewis, kebenaran itu lebih luas dari realitas. Dengan kata lain, realitas merupakan bagian dari kebenaran, tetapi bukan kebenaran seluruhnya. Sedangkan mitos adalah alat Allah dalam mewahyukan kebenaran yang tidak dapat dipahami umat manusia atau sebagai jembatan antara dunia ini dengan dunia abadi.

What flows into you from the myth is not truth but reality (truth is always about something, but reality is that about which truth is), and, therefore, every myth becomes the father of innumerable truths on the abstract level.... It is not, like truth, abstract; nor is it, like direct experience, bound to the particular.(10)

Supaya pemahaman tentang mitos menjadi lebih jelas ia menerangkannya dalam hubungan dengan inkarnasi Yesus Kristus sebagai yang menjadi fakta. Hal yang ia ingin sampaikan dalam penjelasan ini adalah bahwa ide tentang Putra Allah sebagai Domba Allah yang akan dibunuh demi umat manusia adalah mitos yang dapat kita temukan di dalam Perjanjian Lama. Sekarang mitos itu telah menjadi fakta di dalam inkarnasi Yesus Kristus dalam ruang dan waktu yang khusus dalam sejarah umat manusia. Tetapi, fakta ini masih tetap merupakan sebuah mitos karena kita tidak dapat mengerti seluruh kebenaran tentang inkarnasi itu dan tentang Yesus Kristus sendiri. Lewis menyebut hal ini sebagai sebuah mujizat dan kasihan sekali mereka yang tidak mengetahui bahwa mitos yang hebat ini telah menjadi fakta.(11)

Hubungan Antara Otoritas, Ineransi dan Infalibilitas Alkitab Sebagai Literatur

Lewis tidak mengingkari otoritas Alkitab. Ia menilai Alkitab sebagai sumber kebenaran utama dan kita dapat melihat bagaimana ia menggunakan Alkitab sebagai standar untuk menilai pandangan-pandangan yang lain. Misalnya, ia menolak beberapa gagasan Pascal dengan alasan bahwa dalam hal-hal di mana Pascal bertentangan dengan Alkitab, Pascal pasti salah.(12) Kemudian, ia juga menyatakan bahwa hukum atau semua perintah Allah di dalam Alkitab adalah benar dan yang paling valid. Semua perintah dan hukum Allah itu seperti lampu atau penuntun guna melalui segala macam arah untuk hidup di dalam dunia ini.

There are many rival directions for living, as the Pagan cultures all round us show. When the poets call the directions or "rulings" of Jahveh "true" they are expressing he assurance that these, and not those others, are the "real" or "valid" or unassailable ones: that they are based on the very nature of things and the very nature of God".

Menurutnya, Perjanjian Lama memiliki kebenaran historis dan ilmiah, dan inkarnasi Yesus Kristus merupakan sejarah.(14) Namun, itu bukan berarti segala sesuatu yang telah ditulis di dalam Alkitab merupakan kebenaran. Yang ia maksud adalah bahwa ada beberapa cerita, beberapa pernyataan dan beberapa tingkah laku di dalam Alkitab yang tidak boleh diikuti oleh umat Allah. Jadi, yang ia maksud dengan kebenaran yang berkaitan dengan ineransi dan infalibilitas Kitab Suci ialah kebenaran yang merupakan realitas dan kebenaran yang tidak bertentangan dengan hukum Allah.

Lewis percaya bahwa Alkitab merupakan literatur dengan semua karakteristik yang dimiliki literatur. Literatur ini digunakan oleh Allah sebagai medium untuk membawa pesan-Nya kepada manusia. Perbedaan antara proses penulisan Alkitab dan literatur-literatur yang lain adalah bahwa semua proses penulisan dipimpin oleh Allah secara supranatural, baik penulis-penulis Alkitab atau orang yang memelihara dan mengkanonisasi Alkitab, atau editor, penyalin dan penerjemah Alkitab. Hasil akhirnya adalah Alkitab yang kita miliki sekarang ini dapat diterima sebagai kitab yang diinspirasikan sepenuhnya, patut dipercaya dan berotoritas.(15)

Ringkasan Doktrin dan Penggunaan Alkitab Menurut Lewis

Berdasarkan pembahasan di atas, berikut ini penulis simpulkan beberapa kepercayaan Lewis berkaitan dengan istilah-istilah dalam doktrin Alkitab.

  1. Wahyu Allah
  2. Lewis percaya bahwa Allah adalah sumber segala kebenaran dan Ia tidak mewahyukan kebenaran hanya di dalam dunia kekristenan. Allah juga mewahyukan kebenaran di luar bidang agama. Dengan kata lain, Allah mewahyukan diri-Nya dalam berbagai cara di berbagai tempat. Hal ini menjelaskan kenapa Aslan dapat muncul sebagai jenis binatang yang berbeda di sepanjang cerita Narnia. Jadi, kita dapat menemukan kebenaran Allah di dalam penemuan-penemuan ilmiah dan juga di dalam literatur-literatur lain di luar bidang agama. Kita harus mengakui bahwa ada beberapa kebenaran di dalam apa yang mereka kemukakan.

  3. Wahyu Allah di dalam Alkitab
  4. Lewis percaya Alkitab menjadi literatur yang telah dipakai oleh Allah untuk membawa pesan-Nya kepada umat manusia. Karena itu, kita harus memperlakukan Alkitab sebagai wahyu Allah yang berotoritas ilahi. Ia mempertegas hal ini dengan mengatakan bahwa kita seharusnya membuat perbedaan antara tulisan-tulisan Paulus dan tulisan-tulisan Agustinus. Dengan kata lain, kita harus menggunakan Alkitab sebagai standar cara hidup dan pikiran manusia.

  5. Inspirasi Alkitab
  6. Alkitab diilhami oleh Allah dalam arti bahwa di dalam proses literatur ini (misalnya, pengumpulan bahan-bahan, pengeditan bahan-bahan, para penulis dengan semua latar belakang mereka, penyimpanan literatur, kanonisasi, penerjemahan dan penyalinan), semuanya itu telah dipimpin oleh Allah. Karena itu, Alkitab yang kita miliki sekarang ini merupakan literatur yang membawa perkataan Allah di dalamnya. Dengan kata lain, Allah memimpin proses ini dengan cara sedemikian rupa sehingga kebenaran yang Ia ingin agar kita mengetahuinya, ditulis dan diterjemahkan dengan sukses oleh mereka yang telah dipimpin oleh-Nya.(16)

  7. Ineransi Alkitab
  8. Lewis percaya kepada ineransi Alkitab dalam arti Alkitab memiliki kebenaran historis dan ilmiah. Dengan kata lain, apa yang dikatakan oleh Alkitab adalah benar, tetapi tidak berarti bahwa semua kata di dalam Alkitab adalah benar, karena ada beberapa tindakan, pikiran dan perkataan yang seharusnya tidak diikuti oleh kita, misalnya perzinahan Daud (2 Sam. 11) atau ketidaktaatan Saul (1 Sam. 15).

  9. Mitos dan Alkitab
  10. Lewis memiliki gagasan tentang mitos yang tidak sama dengan gagasan Bultmann.(17) Ketika ia mengatakan bahwa Perjanjian Lama merupakan sebuah mitos maksudnya bukan berarti Perjanjian Lama bukanlah sebuah sejarah yang benar. Yang ia maksud dengan mitos adalah realitas yang tidak dapat dipahami sebagai kebenaran yang menyeluruh, yang melebihi realitas itu sendiri. Baginya, mitos merupakan ekspresi dari seseorang yang mencoba menjelaskan kebenaran yang sebenarnya tidak dapat didefinisikan secara penuh, tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, atau ditangkap oleh intelek.(18) "Karena rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman Tuhan. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu" (Yes. 55:8-9).

  11. Bagaimana menggunakan Alkitab
  12. Kita dapat membaca Aikitab dengan dua cara, yaitu sebagai literatur buatan manusia semata-mata atau sebagai firman Allah. Tetapi kedua cara ini tidak akan membawa kita ke mana-mana apabila kita tidak memiliki pengertian tertentu sebagaimana yang dimaksudkan oleh Alkitab. Karena itu, menurut Lewis penting bagi kita untuk memiliki fokus yang benar.(19) Iluminasi Roh Kudus adalah sangat penting untuk mendapatkan pengertian yang benar. Sedangkan hikmat dari Allah juga dibutuhkan untuk mengetahui bagaimana menerapkannya, dan kuasa Roh Kudus jugs sangat krusial supaya kita dapat mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.

PERBANDINGAN PANDANGAN LEWIS TERHADAP ALKITAB DENGAN PANDANGAN-PANDANGAN KAUM LIBERAL DAN FUNDAMENTALIS

Apakah kepercayaan kaum liberal dan kaum fundamentalis terhadap Alkitab? Pertanyaan ini harus dijawab lebih dahulu sebelum kita dapat melakukan perbandingan. Namun persoalannya, di kalangan liberal dan fundamentalis sendiri kita bisa menemukan segala macam doktrin tentang Kitab Suci. Untuk mendiskusikan hal itu diperlukan topik lain dengan pembahasan panjang. Karena itu, dalam bagian ini penulis hanya akan menyentuh masalah pokok dari setiap kepercayaan mereka yang dipandang cukup mewakili kedua golongan ini pada umumnya.

Liberalisme terbuka pada ilmu pengetahuan, seni dan kemanusiaan kontemporer. Mereka mencari kebenaran di mana pun hal itu dapat ditemukan. Bagi mereka tidak ada kesenjangan antara kebenaran yang terdapat di dalam dan di luar kekristenan. Liberalisme tidak setuju dengan dogmatisme dan eksklusivisme. Dengan kata lain, kebenaran tidak hanya terdapat di dalam kekristenan. Alkitab dipandang oleh kaum liberal sebagai produk pikiran manusia semata-mata yang mencatat pengalaman orang-orang yang terbuka pada kehadiran Allah. Karena itu, Alkitab bukan merupakan teks yang diwahyukan dan juga bukan wahyu Allah secara eksklusif kepada umat manusia. Dengan kata lain, karena Alkitab hanya merupakan produk pikiran manusia, maka Alkitab tidak bebas dari natur manusia, yakni dapat salah. Pendekatan yang dipakai untuk mempelajari Alkitab adalah higher and lower biblical criticism.(20)

Fundamentalis percaya bahwa Alkitab sebagai firman Allah yang dalam proses pewahyuan dan penulisannya ada keterlibatan Allah. Oleh karena itu, Alkitab pada dasarnya selain ditulis oleh manusia juga merupakan produk ilahi sehingga, Kitab Suci adalah benar di dalam segala sesuatu yang dikatakannya, baik secara historis maupun secara ilmiah. Sebagai hasilnya, kita memiliki pengajaran dan peraturan tentang iman yang tanpa salah, yang menjadi acuan bagi perilaku dan kehidupan umat manusia. Istilah yang dipakai biasanya adalah verbal plenary inspiration(21) Kitab Suci.

Sekarang, kita sampai kepada jawaban atas pertanyaan di sisi manakah Lewis dapat dimasukkan, liberal atau fundamentalis? Apabila kita hanya terpaku pada pernyataan Lewis yang mengatakan bahwa kebenaran Allah tidak hanya ada di dalam Kitab Suci, maka kita akan menyimpulkan bahwa ia ada di sisi liberal. Namun, apabila kita mengamati pernyataannya lebih lanjut yang mengklaim bahwa Kitab Suci adalah patokan untuk menilai apakah usulan "kebenaran" yang dihasilkan di luar Kitab Suci salah atau benar, maka penganut liberalisme akan mengernyitkan dahinya dan menggelengkan kepala mereka tanda tidak setuju.

Lewis dapat menerima gagasan bahwa beberapa cerita di dalam Alkitab tidak bersifat historis (misalnya Ayub), tetapi alasannya karena karakter ini tidak memiliki asal-usul.(22) Namun, ia percaya bahwa cerita-cerita yang lain di dalam Alkitab sebagai sejarah, meskipun ada mujizat-mujizat(23) di dalamnya. Mencermati keseluruhan pemikiran Lewis, maka penulis berpendapat bahwa kita tidak dapat meletakkannya di dalam kategori liberal. Bagaimana dengan fundamentalis?

Penulis menyadari bahwa fundamentalis akan mengalami kesulitan menerima gagasan bahwa cerita Ayub bukanlah sejarah, serta pendapat bahwa di Alkitab terdapat mitos-mitos. Di samping itu, gagasan Lewis tentang inspirasi berbeda dari kaum fundamentalis. Lewis percaya bahwa derajat penginspirasian Alkitab tidak sama dalam setiap bagian Alkitab. Karena itu, tidak heran kalau kita bisa menemukan perbedaan hal-hal yang disebut dalam 2 Samuel 10:18 dan 1 Tawarikh 19:18; adanya ketidaksamaan antara silsilah di Matius 1 dan Lukas 3; serta pernyataan rasul Paulus yang membuat perbedaan antara pernyataan-pernyataannya dengan perintah Allah (1Kor. 7:10, 12).(24)

Apabila kita hanya memperhatikan pernyataan Lewis yang menyatakan bahwa Alkitab merupakan tolok ukur bagi semua klaim tentang kebenaran di luar Alkitab, maka kelihatannya ia berbicara sebagai seorang fundamentalis. Namun, bagaimana dengan pemikirannya tentang inspirasi yang tidak merata derajatnya serta penggabungan antara pendekatan kritik literatur dan pimpinan Tuhan dalam penulisan Kitab Suci? Apakah ini hanya merupakan cara menjelaskan yang berbeda dari konsep yang sama, yang dimiliki oleh fundamentalis? Mengingat ia sedang berhadapan dengan para filsuf dan teolog atau orang-orang yang melihat bahwa faktor intelek menjadi penghalang untuk mempercayai Alkitab sebagai wahyu Allah yang menjadi patokan bagi manusia, maka tidak heran kalau ia menggunakan pendekatan filosofis dan menonjolkan aspek-aspek yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi intelek ini dalam menjelaskan doktrin Alkitab.(25)

Dari pembahasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Lewis tidak termasuk salah satu dari golongan tersebut. Scott R. Burson dan Jerry L. Walls(26) dalam tulisan mereka tentang pemikiran Lewis menyatakan bahwa ada dua hal yang tidak boleh dilakukan terhadap Lewis. Pertama, kita tidak boleh mengambil bagian-bagian dari pemikirannya dengan tujuan mendukung pendapat tertentu dan mengabaikan pernyataan-pernyataan eksplisit dari Lewis yang jelas bertentangan dengan pendapat tersebut. Kedua, kita harus hati-hati dengan spekulasi apa yang akan ia katakan andaikata ia masih hidup. Semua kesimpulan tentang pendapatnya harus disertai dengan dasar atau bukti yang cukup dari tulisan-tulisan Lewis sendiri. Lewis memang seorang sastrawan yang melalui karya tulis dan pemikiran-pemikirannya telah memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi dunia kekristenan. Hal itu tentu patut dihargai, namun, tentu saja penghargaan itu tidak berarti kita harus memperlakukan buah pemikirannya sebagai acuan. Lewis sendiri dengan jelas menjadikan Alkitab sebagai acuan dalam kehidupannya, meskipun kebenaran yang ia dapatkan di Alkitab tidak menyenangkannya atau membuatnya nyaman. Misalnya, kebenaran tentang neraka, kebebasan dan predestinasi. Oleh karena itu, pencerahan dari Lewis berikut ini ditulis dengan asumsi bahwa ada hal-hal baik yang dapat kita pelajari dari Lewis sebagai suatu masukan untuk membuka wawasan, tanpa berusaha untuk mengutip dan memakai pernyataan-pernyataan Lewis untuk sekadar mendukung pendapat tertentu.

PENCERAHAN DARI C. S. LEWIS

Bagi kita yang percaya bahwa Allah memberikan dua macam wahyu kepada manusia, yaitu wahyu umum dan wahyu khusus, maka anjuran Lewis supaya kita tidak memisahkan kedua wahyu itu dan menganggap yang satu lebih rendah dari yang lain perlu diperhatikan. Penulis berpendapat hal ini sangat baik karena membuat kita memiliki pandangan yang luas tentang kebenaran dan akan membantu kita menemukan kebenaran Allah di bidang-bidang yang lain. Selain itu, juga akan memperkaya kita dalam memahami kebenaran. Berikutnya kita akan melihat bagaimana diskusi tentang Alkitab dapat memperkaya kita dalam pandangan kita terhadap agama-agama atau pendapat orang lain dan ilmu pengetahuan.

Agama

Lewis memperjelas bahwa kita dapat menemukan kebenaran dalam agama-agama yang lain. Gagasan ini akan menghapus keragu-raguan kita untuk mempelajari agama-agama lain. Misalnya, kita mungkin berpikir bahwa mempelajari agama-agama lain itu tidak ada gunanya karena kita tidak akan menemukan sesuatu yang baik di dalamnya. Kemauan kita untuk mempelajari agama-agama lain akan membuat kita benar-benar mengenal agama tersebut dan kita dapat mendekati mereka serta membagikan kehenaran kita kepada mereka. Dengan kata lain, untuk mengetahui bagaimana mendekati orang yang berbeda kepercayaan secara efektif, kita perlu mengenal dengan jelas apa yang kita percaya dan apa yang mereka percaya, sehingga kita dapat sampai kepada kesimpulan seperti yang dinyatakan oleh Lewis:

All I am doing is to ask people to face the facts-to understand the questions which Christianity claims to answer. And they are very terrifying facts. I wish it was possible to say something more agreeable. But I must say what I think true. Of course, I quite agree that the Christian religion is, in the long run, a thing of unspeakable comfort. But it does not begin in comfort; it begins in the dismay.... In religion, ... comfort is the one thing you cannot get by looking for it. If you look for truth, you may find comfort in the end; if you look for comfort you will not get either comfort or truth-only soft soap and wishful thinking to begin with and, in the end, despair.(27)

Ilmu Pengetahuan

Sejak abad keenam belas banyak pertanyaan telah diajukan mengenai hubungan antara ilmu pengetahuan dan teologi dan segala macam usaha telah dilakukan untuk menjelaskan hubungan tersebut. Dari sejarah masalah yang kontroversial ini terdapat tiga macam sikap yang diambil dalam mendekati masalah ini: pertama, pendekatan Warfare, yaitu gereja-gereja dengan otoritas mereka menekan ilmu pengetahuan atau para ilmuwan untuk tidak berjalan terlalu jauh atau bahkan menahan mereka sebelum mereka memulai pekerjaannya. Kedua, pendekatan separation, yaitu kepercayaan bahwa tidak ada koneksi antara ilmu pengetahuan dan teologi karena masing-masing memiliki latar belakang berbeda, jadi tidak ada gunanya mencoba menghubungkan ilmu pengetahuan dan teologi. Ketiga, pendekatan mutual interaction di mana para teolog mencoba berdialog dengan para ilmuwan, demikian sebaliknya, sehingga keduanya dapat sampai kepada pemahaman tertentu tentang bagaimana seorang teolog harus memandang ilmu pengetahuan dan bagaimana seorang ilmuwan harus memandang teologi.(28)

Biasanya gereja akan menggunakan pendekatan pertama atau kedua dan sangat jarang gereja atau orang Kristen menggunakan pendekatan ketiga dan dengan serius bekerja dengan pendekatan itu. Alasannya karena kekuatiran menghadapi konflik antara apa yang akan atau dapat ditemukan oleh para ilmuwan di dalam alam semesta ini dengan apa yang Alkitab telah katakan tentang isu yang sama. Ada juga yang berpendapat bahwa itu bukan urusan orang Kristen. Tanggung jawab orang Kristen yang utama adalah bersaksi. Jadi, apabila orang Kristen harus memilih antara ilmu pengetahuan dan menjadi saksi Kristus, maka ilmu pengetahuan harus menempati tempat duduk di belakang.(29)

Penulis berpendapat bahwa pandangan Lewis tentang Alkitab yang berhubungan dengan kebenaran akan membantu orang Kristen melihat relasi antara ilmu pengetahuan dan Alkitab. Jika kita percaya bahwa Allah adalah sumber kebenaran dan kebenaran itu dapat kita temukan baik dalam wahyu khusus maupun wahyu umum, maka sesungguhnya tidak ada yang perlu dikuatirkan. Setiap orang Kristen akan siap mendengar apa yang disampaikan oleh para ilmuwan. Karena sepanjang para ilmuwan memang benar-benar telah mencapai kebenaran di dalam pekerjaan mereka, maka penemuan-penemuan mereka tidak akan bertentangan dengan kebenaran yang dinyatakan di Alkitab, meskipun pembahasaan di Alkitab tidak disampaikan dalam bahasa ilmiah yang telah dicapai pada saat ini.

Jika pandangan kita terhadap Alkitab sama seperti pandangan Lewis, penulis sangat yakin bahwa kita akan siap untuk terbuka kepada para ilmuwan dan mau mendengarkan apa yang mereka coba katakan tanpa takut penemuan-penemuan mereka akan menggoncangkan iman kita terhadap Alkitab. Bahkan kita pun akan siap menguatkan saudara-saudara Kristen kita untuk menjadi ilmuwan yang baik dan menggunakan ilmu pengetahuan untuk kemuliaan Allah. "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu" (Kej. 1:28; NIV).

KESIMPULAN DAN TANGGAPAN

Ada dua hal yang dapat disimpulkan dari studi tentang doktrin dan kegunaan Alkitab menurut Lewis. Pertama, ia menyatakan betapa luasnya kebenaran Allah dan keterbatasan manusia. Hal itu ia kemukakan tanpa mengurangi otoritas Kitab Suci dan kegunaannya sebagai tolok ukur kehidupan semua orang. Kedua, pandangannya terhadap Alkitab menjaga kita untuk tidak meletakkan God in the Dock, yang berarti menempatkan Allah di kursi terdakwa dan kita sebagai pendakwanya.(30) Hal ini tentu mengingat keberadaan kita sebagai ciptaan dan Allah sebagai pencipta; biarlah Allah menjadi Allah dan manusia menjadi manusia.

Lewis dikenal sebagai apologis Kristen yang cukup dikagumi pemikiran-pemikirannya. Salah satu argumentasinya yang terkenal sehubungan dengan Kristus adalah:

A man who was merely a man and said the sort of things Jesus said would not be a great moral teacher. He would either be a lunatic ... or else he would be the Devil of Hell. You must make your choice. Either this man was, and is, the Son of God: or else a madman or something worse. You can shut Him up for a fool, you can spit at Him and kill Him as a demon; or you can fall at His feet and call Him Lord and God. But let us not come with any patronising nonsense about His being a great human teacher. He has not left that open to us. He did not intend to.(31)

Argumentasinya adalah bahwa Kristus dengan segala yang dinyatakan tentang Dia di dalam Kitab Suci, tidak mungkin orang gila, setan atau pembohong. Pilihan kita hanya satu, yaitu Ia adalah Tuhan dan Allah.

Tanggapan yang diberikan kepada Lewis adalah, mengapa ia tidak memakai pola argumentasi yang sama dalam menjelaskan inspirasi Kitab Suci, serta memakai, misalnya, bagian Kitab Suci seperti 2 Timotius 3:16-17; 1 Petrus 1:21; Matius 5:18, yang menyatakan pengakuan Kristus dan para rasul akan inspirasi Kitab Suci dalam membangun argumentasinya? Kita tidak akan pernah tahu dan tidak seharusnya kita berspekulasi tanpa ada bukti yang jelas. Mengingat Tuhan memakai setiap orang yang memiliki peran berbeda dalam zaman yang berbeda untuk tujuan tertentu sesuai dengan rencana-Nya, maka biarlah kita belajar dari Lewis sesuai dengan porsi yang diberikan oleh Tuhan kepadanya, tidak lebih dan tidak kurang dan segala kemuliaan tetap hanya bagi TUHAN.

Footnote:

1 The Joyful Christian (New York: Macmillan, 1977) 111.

2 I have been suspected of being what is called a Fundamentalist" (C. S. Lewis, Reflections on the Psalms [New York: HBJ, 1958] 109). "Liberals accuse him of being fundamentalist. Fundamentalists accuse him of being liberal. How are we, then, to understand Lewis' 'mere' Christianity? Does he lean toward the right or the left on the theological spectrum?" (Michael J. Christensen, C. S. Lewis on Scripture [Texas: Word, 1979] 24). "I am amazed the extreme positions within Christendom that claim Lewis as the champion and defender of their own denominational faith. These extremes are seen on a continuum between the liberals and the fundamentalists.... Even within Protestant Christianity there are the extremes of the most conservative Baptist to the most charismatic Pentecostals claiming Lewis as one of their own" (Duncan Sprague, "The Unfundamental C. S. Lewis: Key Components of Lewis' View of Scripture," Mars Hill Review 2 [1995] 53).

3 "C. S. Lewis became all things to all readers. For the child ... he created the land of Narnia and the untamed lion/savior.... For science fiction readers ... Ransom. For the philosopher and theologian he reasoned about pain and miracles, as well as debating doctrines of Christianity and the philosophy of men. For the lover of myth, he wrote an adaptation of the myth of Cupid and Psyche. For the pain stricken he observed grief and spoke of prayer. For those enchanted with rhyme he wrote poetry. For those concerned with the afterlife he wrote about Heaven and Hell and exposed the mind of Satan. For the weak and questioning he wrote letters of personal encouragement and advice" (ibid. 53).

4 Science is in continual change and we must try to keep abreast of it. For the same reason, we must be very cautious of snatching at any scientific theory which, for the moment, seems to be in our favour" (C. S. Lewis, God inn the Dock [Grand Rapids: Eerdmans, 1989] 92). "Lewis critizes certain Freudian theories, not because they are necessarily untrue but because they claim too much. Not satisfied with their being a part of the truth, Freud presented them as the whole truth" (Richard B. Cunningham, C. S. Lewis Defender of the Faith [Philadelphia: Westminster, 1967] 51).

5 Lewis, The Joyful 102-104.

6 The Son of God became a man to enable men to become the sons of God" (ibid. 50)

7 When a series of such re-tellings turns a creation story which at first had almost no religious or metaphysical significance into a story which achieves the idea of true Creation and of a transcendent Creator (as Genesis does), then nothing will make me believe that some of the re-tellers, or someone of them, has not been guided by God" (Lewis, Reflections 110-111).

8 Kathryn Lindskoog, C. S. Lewis Mere Christian (Illinois: Harold Shaw, 1987) 182.

9 Christensen, C. S. Lewis 77.

10 Lewis, God 66.

11 Ibid. 66-67.

12 Lindskoog, C. S. Lewis 181.

13 Lewis, Reflections 60-61.

14 Ibid. 109, Iih. juga Lewis, God 63-67.

15 Christensen, C. S. Lewis 92-93.

16 The medium of expression may be cultural, but the message is not" (ibid.-93).

17 "Myth for Bultmann is the undifferentiated discourse of a pre-scientific age. It is the purpose of myth to express man's understanding of himself, not to present an objective picture of the world" (Cunningham, C. S. Lewis 94-95).

18 Ibid. 75.

19 C. S. Lewis, An Anthology of C. S. Lewis a Mind Awake (ed. Clyde S. Kilby; New York: HBJ, 1968) 65.

20 Higher criticism memperhatikan tiga hal: pertama, sumber-sumber yang melatarbelakangi suatu karya literatur; kedua, mengindentifikasi jenis literatur tersebut; ketiga, penulisan dan waktu penulisan. Sedangkan lower criticism berhubungan dengan teks Kitab Suci dan transmisinya.

21 Prinsip utama dari verbal plenary inspiration adalah: 1) Allah adalah penulis Alkitab; 2) Fokus dari inspirasi adalah penulis Alkitab; 3) Semua data di Alkitab adalah tanpa salah baik secara historis, geografis, ilmiah, kata-kata dan pengajarannya; 4) Supervisi Allah berlangsung terus sampai pada proses penyalinan, sehingga keakuratan dan kebenarannya terjamin.

22 Lewis, Reflection 110.

23 Lewis percaya bahwa Allah dapat berinterferensi dalam sejarah manusia (lihat pcmbahasan Lewis mengenai mujizat dalam bukunya, Miracles [New York: Macmillan. 1960]).

24 Christensen, C. S. Lewis 17-1S.

25 Mengenai hal ini dapat dilihat juga dalam pembahasan Lewis tentang mujizat pada waktu ia menjelaskan naturalis dan supranaturalis (lih. Miracles).

26 C. S. Lewis & Francis Schaeffer (Downers Grove, IL: IVP, 1998) 122.

27 C. S. Lewis, Mere Christianity (London: Fontana, 1960) 38.

28 Kenneth Howell, Class Notes in Theology and Science (Jackson: RTS, 1989); Richard F. Carlson ed., Science and Christianity: Four Views (Downers Grove: IVP, 2000).

29 Del Ratzsch, Science and Its Limits (Downers Grove: InterVarsity, 2000) 133-134.

30"Manusia zaman dahulu mendekati Allah (atau bahkan para dewa) sebagai seorang tertuduh mendekati hakimnya. Bagi orang modern peran tersebut dibalik. Manusia adalah hakim, Allah berada di kursi terdakwa" (Lewis, God 244).

31 Lewis, Mere Christianity 52-53.

Diambil dari:

Judul Jurnal : Veritas (Vol.4, No.2, Tahun 2003)
Judul artikel : Doktrin dan Penggunaan Kitab Suci Menurut C. S. Lewis
Penulis : Rahmiati Tanudjaja
Penerbit : SAAT, Malang
Halaman : 189 -- 203

Post new comment